Emosi bukan solusi
Seorang anak menangis ketakutan, sang ibu jengkel kemudian membentak, "Bisa diam tidak ?" Akibatnya si anak menangisnya semakin menjadi.
Kejadian di atas merupakan bentuk kejadian yang mencerminkan ketidakfahaman orang tua dalam memahami perilaku anak. Menurutnya, bentakan dapat menghentikan tangis anak.
Setelah diselidiki ternyata sang anak takut dengan bulu kemoceng yang dipegang ibunya. Mungkin ia mengira itu adalah bulu hewan buas seperti macan atau singa. Seharusnya yang dilakukan ibu tersebut adalah menjauhkan bulu itu darinya, menenangkan anaknya dan memberikan rasa aman dengan pelukan atau belaian. Kemudian memberikan penjelasan bahwa tidak ada yang berbahaya dari sebuah kemoceng.
Tanpa disadari, orang tua sudah melakukan tindak kekerasan. Dengan bentakan, anak merasa diabaikan dan tidak dimengerti. Ia berfikir kenapa orang tuanya tidak mau menolongnya, padahal ia dalam keadaan ketakutan. Bentakan memang dapat menghentikan tangis anak, namun bersifat sementara. Di lain waktu, bisa jadi ketakutan anak timbul kembali karena hal serupa.
Seringkali anak bisa mengungkapkan ketakutan, kekhawatiran ataupun kecemasannya lewat kata-kata. Orang tua dituntut untuk dapat mencari makna dari tingkah laku atau perasaan yang tersembunyi dari sang anak.
Bila kita sudah dalam penafsiran, lanjutkan dengan mengecek kebenarannya. Jangan biarkan penafsiran tersebut tetap menjadi sebuah penafsiran, karena hal tersebut dapat membuahkan kesalahfahaman. Pancing ia untuk menjawab pertanyaan yang berkenaan dengan masalah tersebut secara singkat.
"Adek takut kemoceng yaa ?" Pertanyaan dengan jawaban ya atau tidak dapat memudahkan ia untuk mengekspresikan perasaanya.
Mentertawakan ketakutannya atau mempermalukan di depan umum adalah hal yang perlu dihindari. Misalnya hindari kalimat seperti " "Masak cuma naik bangku saja takut" atau ketika bertemu dengan tetangga, kita berkata : "Putra saya yang bungsu ini takut pada ketinggian, kemarin waktu naik jet coster malah sampai pipis di celana"
Dengan perannya sebagai orang tua, seringkali kita merasa dapat mengubah perilaku atau sikap anak hanya dengan nasehat. Tetapi memberi nasihat melalui teladan jauh lebih efektif daripada sebuah kata-kata, karena anak-anak mempunyai daya imitasi (meniru) yang besar terhadap perilaku orang tua.
Trauma yang terjadi pada anak tidak bisa disamaratakan. Jangan menanyakan di hadapan anak, kenapa anak kita masih saja takut yang tidak beralasan terhadap gempa sedangkan anak tetangga sama-sama terkena musibah sudah sembuh dari ketakutannya.
Membandingkan dengan harapan anak kita dapat termotivasi untuk sembuh bukan jalan terbaik walaupun itu bisa dilakukan sebagai salah satu cara penyembuhan.
Akan lebih baik apabila ditanamkan kepercayaan diri bahwa ia bisa menangatasi ketakutan tersebut. Misalnya dengan pendekatan religius bahwa ia masih punya Alloh yang selalu melindungi dan menjaganya. Ia bisa berdoa agar Alloh mengabulkan permintaanya. Serta pemahaman bahwa anak tidak ada kejadian apapun yang dapat membahayakan dirinya kecuali diijinkan oleh Alloh.
Dalam proses penyembuhan traumanya, perlindungan khusus agar anak merasa aman memang sangat diperlukan. Akan tetapi ketika over protective atau terlalu memberi perlindungan dapat membuat anak memiliki ketergantungan kepada orang tua dalam proses penyembuhan trauma. Saat anak takut pada ketinggian karena pernah terjatuh, ia seringkali meminta orang tua untuk menemani. Orang tua pun menjadi khawatir sehingga senantiasa mendampingi anak seperti bodyguard.
Permintaan tersebut bukan tidak boleh dipenuhi, namun sesekali membiarkan anak sendiri perlu dilakukan untuk menumbuhkan kemandiriannya lepas dari trauma.
Kesalahan lain yang dilakukan orang tua dalam menangani trauma anak adalah memberikan janji yang muluk untuk menenangkannya. Misalnya dengan ucapan : "Nanti kalau nggak nangis lagi, adek dibelikan cokelat" Apabila janji di atas tidak dipenuhi, secara tidak sadar orang tua telah mengajari anak untuk berbohong. Ketika janji sudah senantiasa diutarkan, anak menjadi tidak percaya. Akibatnya tidak ada yang berkurang pada traumanya.
Menyuruhnya menceritakan kembali traumanya bukanlah hal yang bijaksana. Bagaimanapun juga trauma masa lalu anak memang tidak dapat dihilangkan dari ingatannya. Akan tetapi memberikan pemahaman kepadanya perihal trauma tersebut dapat menguatkannya agar dapat bangkit kembali.
Kejadian di atas merupakan bentuk kejadian yang mencerminkan ketidakfahaman orang tua dalam memahami perilaku anak. Menurutnya, bentakan dapat menghentikan tangis anak.
Setelah diselidiki ternyata sang anak takut dengan bulu kemoceng yang dipegang ibunya. Mungkin ia mengira itu adalah bulu hewan buas seperti macan atau singa. Seharusnya yang dilakukan ibu tersebut adalah menjauhkan bulu itu darinya, menenangkan anaknya dan memberikan rasa aman dengan pelukan atau belaian. Kemudian memberikan penjelasan bahwa tidak ada yang berbahaya dari sebuah kemoceng.
Tanpa disadari, orang tua sudah melakukan tindak kekerasan. Dengan bentakan, anak merasa diabaikan dan tidak dimengerti. Ia berfikir kenapa orang tuanya tidak mau menolongnya, padahal ia dalam keadaan ketakutan. Bentakan memang dapat menghentikan tangis anak, namun bersifat sementara. Di lain waktu, bisa jadi ketakutan anak timbul kembali karena hal serupa.
Seringkali anak bisa mengungkapkan ketakutan, kekhawatiran ataupun kecemasannya lewat kata-kata. Orang tua dituntut untuk dapat mencari makna dari tingkah laku atau perasaan yang tersembunyi dari sang anak.
Bila kita sudah dalam penafsiran, lanjutkan dengan mengecek kebenarannya. Jangan biarkan penafsiran tersebut tetap menjadi sebuah penafsiran, karena hal tersebut dapat membuahkan kesalahfahaman. Pancing ia untuk menjawab pertanyaan yang berkenaan dengan masalah tersebut secara singkat.
"Adek takut kemoceng yaa ?" Pertanyaan dengan jawaban ya atau tidak dapat memudahkan ia untuk mengekspresikan perasaanya.
Mentertawakan ketakutannya atau mempermalukan di depan umum adalah hal yang perlu dihindari. Misalnya hindari kalimat seperti " "Masak cuma naik bangku saja takut" atau ketika bertemu dengan tetangga, kita berkata : "Putra saya yang bungsu ini takut pada ketinggian, kemarin waktu naik jet coster malah sampai pipis di celana"
Dengan perannya sebagai orang tua, seringkali kita merasa dapat mengubah perilaku atau sikap anak hanya dengan nasehat. Tetapi memberi nasihat melalui teladan jauh lebih efektif daripada sebuah kata-kata, karena anak-anak mempunyai daya imitasi (meniru) yang besar terhadap perilaku orang tua.
Trauma yang terjadi pada anak tidak bisa disamaratakan. Jangan menanyakan di hadapan anak, kenapa anak kita masih saja takut yang tidak beralasan terhadap gempa sedangkan anak tetangga sama-sama terkena musibah sudah sembuh dari ketakutannya.
Membandingkan dengan harapan anak kita dapat termotivasi untuk sembuh bukan jalan terbaik walaupun itu bisa dilakukan sebagai salah satu cara penyembuhan.
Akan lebih baik apabila ditanamkan kepercayaan diri bahwa ia bisa menangatasi ketakutan tersebut. Misalnya dengan pendekatan religius bahwa ia masih punya Alloh yang selalu melindungi dan menjaganya. Ia bisa berdoa agar Alloh mengabulkan permintaanya. Serta pemahaman bahwa anak tidak ada kejadian apapun yang dapat membahayakan dirinya kecuali diijinkan oleh Alloh.
Dalam proses penyembuhan traumanya, perlindungan khusus agar anak merasa aman memang sangat diperlukan. Akan tetapi ketika over protective atau terlalu memberi perlindungan dapat membuat anak memiliki ketergantungan kepada orang tua dalam proses penyembuhan trauma. Saat anak takut pada ketinggian karena pernah terjatuh, ia seringkali meminta orang tua untuk menemani. Orang tua pun menjadi khawatir sehingga senantiasa mendampingi anak seperti bodyguard.
Permintaan tersebut bukan tidak boleh dipenuhi, namun sesekali membiarkan anak sendiri perlu dilakukan untuk menumbuhkan kemandiriannya lepas dari trauma.
Kesalahan lain yang dilakukan orang tua dalam menangani trauma anak adalah memberikan janji yang muluk untuk menenangkannya. Misalnya dengan ucapan : "Nanti kalau nggak nangis lagi, adek dibelikan cokelat" Apabila janji di atas tidak dipenuhi, secara tidak sadar orang tua telah mengajari anak untuk berbohong. Ketika janji sudah senantiasa diutarkan, anak menjadi tidak percaya. Akibatnya tidak ada yang berkurang pada traumanya.
Menyuruhnya menceritakan kembali traumanya bukanlah hal yang bijaksana. Bagaimanapun juga trauma masa lalu anak memang tidak dapat dihilangkan dari ingatannya. Akan tetapi memberikan pemahaman kepadanya perihal trauma tersebut dapat menguatkannya agar dapat bangkit kembali.
Labels: pendidikan anak, umum
Post a Comment