80% kekerasan terhadap anak dilakukan orang tua
Temuan Komisi Nasional Perlindungan Anak baru-baru ini, menunjukkan kekerasan terhadap anak justru dilakukan oleh orang terdekatnya terutama orang tua. Data temuan tersebut menunjukkan bahwa 80 persen kekerasan terhadap anak dilakukan oleh orang tuanya karena ketidaktahuannya dalam mengasuh anak.
Kekerasan fisik yang terjadi di rumah bukan hanya kekerasan yang berat seperti memukul, tetapi juga dalam bentuk lebih halus seperti menjewer anak, mencubit dan menjambak rambut. Hal ini juga terjadi di lingkungan sekolah, di mana guru kerap menghukum murid yang dianggap melanggar aturan sekolah dengan mencederai mental, fisik serta emosi anak. Meminta murid berdiri di depan kelas atau menyuruhnya membersihkan kamar mandi merupakan sebagian kecil contoh hukuman yang sering diberikan guru kepada murid di sekolahnya. Tanpa disadari, hukuman-hukuman seperti ini memiliki potensi menimbulkan perasaan tersiksa dan tidak nyaman bagi anak.
Setiap anak di seluruh dunia berhak untuk mendapatkan perlindungan terhadap kekerasan dalam bentuk apapun. Ini merupakan bagian dari hak dasar yang harus dimiliki oleh anak selain hak untuk memperoleh makanan yang baik, pendidikan yang berkwalitas, perawatan kesehatan serta rumah yang aman.
Persepsi orang tua terhadap anak dalam mengajarkan kedisiplinan dan kesopanan juga menjadi faktor pemicu munculnya kekerasan. Demikian pula dengan pengalaman kekerasan yang dialami orang tua pada masa kecilnya akan berpeluang mendorong orang tua untuk mengulangi tindakan kekerasan tersebut kepada anaknya.
Pemerintah Indonesia sendiri sebenarnya sudah memiliki perangkat hukum yang berfokus pada anak. Sebut saja Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak yang mengatur berbagai hal termasuk sanksi hukum atas tindak kekerasan kepada anak. Sementara itu, tindakan kekerasan terhadap anak yang dimasukkan dalam kategori kekerasan domestik, secara langsung juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Selin itu, Pemerintah Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi PBB tentang Hak Anak ( UNHCR, United Nations Convention on the Rights of the Child ) yang merupakan perjanjian mengikat secara hukum dalam pemenuhan hak anak.
Meski terdapat beberapa regulasi yang mengatur perlindungan anak terhadap kekerasan, namun kekerasan terhadap anak di lingkungan keluarga masih terus berlangsung, ini menunjukkan bahwa perlindungan anak dari tindak kekerasan masih sangat lemah. Kampanye dan sosialisasi perlindungan anak harus semakin gencar dilakukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya pemenuhan Hak Anak untuk mendapatkan perlindungan dari kekerasan.
Kenyataan yang tidak bisa dipungkiri selama ini adalah anggapan bahwa kekerasan terhadap anak merupakan urusan domestik rumah tangga yang bersangkutan. Sehingga banyak pihak yang sekedar mengetahui tanpa melakukan upaya pencegahan jika melihat seorang anak diperlakukan secara kasar oleh orang tuanya. Padahal, berdasarkan UU KDRT dan UU PA, kekerasan terhadap anak termasuk urusan publik yang layak mendapatkan perhatian dari hukum. [ warna ]
Kekerasan fisik yang terjadi di rumah bukan hanya kekerasan yang berat seperti memukul, tetapi juga dalam bentuk lebih halus seperti menjewer anak, mencubit dan menjambak rambut. Hal ini juga terjadi di lingkungan sekolah, di mana guru kerap menghukum murid yang dianggap melanggar aturan sekolah dengan mencederai mental, fisik serta emosi anak. Meminta murid berdiri di depan kelas atau menyuruhnya membersihkan kamar mandi merupakan sebagian kecil contoh hukuman yang sering diberikan guru kepada murid di sekolahnya. Tanpa disadari, hukuman-hukuman seperti ini memiliki potensi menimbulkan perasaan tersiksa dan tidak nyaman bagi anak.
Setiap anak di seluruh dunia berhak untuk mendapatkan perlindungan terhadap kekerasan dalam bentuk apapun. Ini merupakan bagian dari hak dasar yang harus dimiliki oleh anak selain hak untuk memperoleh makanan yang baik, pendidikan yang berkwalitas, perawatan kesehatan serta rumah yang aman.
Persepsi orang tua terhadap anak dalam mengajarkan kedisiplinan dan kesopanan juga menjadi faktor pemicu munculnya kekerasan. Demikian pula dengan pengalaman kekerasan yang dialami orang tua pada masa kecilnya akan berpeluang mendorong orang tua untuk mengulangi tindakan kekerasan tersebut kepada anaknya.
Pemerintah Indonesia sendiri sebenarnya sudah memiliki perangkat hukum yang berfokus pada anak. Sebut saja Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak yang mengatur berbagai hal termasuk sanksi hukum atas tindak kekerasan kepada anak. Sementara itu, tindakan kekerasan terhadap anak yang dimasukkan dalam kategori kekerasan domestik, secara langsung juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Selin itu, Pemerintah Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi PBB tentang Hak Anak ( UNHCR, United Nations Convention on the Rights of the Child ) yang merupakan perjanjian mengikat secara hukum dalam pemenuhan hak anak.
Meski terdapat beberapa regulasi yang mengatur perlindungan anak terhadap kekerasan, namun kekerasan terhadap anak di lingkungan keluarga masih terus berlangsung, ini menunjukkan bahwa perlindungan anak dari tindak kekerasan masih sangat lemah. Kampanye dan sosialisasi perlindungan anak harus semakin gencar dilakukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya pemenuhan Hak Anak untuk mendapatkan perlindungan dari kekerasan.
Kenyataan yang tidak bisa dipungkiri selama ini adalah anggapan bahwa kekerasan terhadap anak merupakan urusan domestik rumah tangga yang bersangkutan. Sehingga banyak pihak yang sekedar mengetahui tanpa melakukan upaya pencegahan jika melihat seorang anak diperlakukan secara kasar oleh orang tuanya. Padahal, berdasarkan UU KDRT dan UU PA, kekerasan terhadap anak termasuk urusan publik yang layak mendapatkan perhatian dari hukum. [ warna ]
Labels: pendidikan anak, umum
Post a Comment