Kisah seorang ibu
Kisah ini terjadi pada tahun 1987, di sebuah perkebunan karet terpencil di Lampung Selatan tinggal seorang ibu yang sudah tua serta sakit-sakitan. Dia hanya tinggal seorang diri tanpa ada sanak keluarga juga anak-anak yang mengurus. Setiap hari dia hanya hidup seadanya dari menjual hasil bumi yang di tanam sendiri di ladang belakang rumahnya. Sudah beberapa hari ini ibu tersebut hanya tergolek di tempat tidurnya yang lusuh di dalam sebuah ruang yang menyatu dengan ruang tamu yang tidak terawat. Tidak seorangpun yang tahu bahwa dia memendam penderitaan yang teramat sangat, hingga suatu ketika datang seorang ustadz menengok keadaan ibu tersebut. Ustadz itu bertanya padanya tentang keberadaan anak-anaknya atau sanak keluarga yang lain. Dia hanya bisa menangis dengan suara yang sangat lirih dan air mata yang meleleh di pipinya yang berkerut. Dengan suara yang terbata dia bercerita bahwa sesungguhnya dia memiliki 5 orang anak, 3 orang laki-laki dan 2 orang perempuan. Anak laki-laki pertamanya kini tinggal di Jakarta sebagai seorang pejabat di sebuah departemen, anak laki-laki keduanya tinggal di Bontang Kalimantan sebagai karyawan sebuah perusahaan multinasional, anak ketiganya perempuan tinggal di Bandung bersama suaminya yang seorang pengusaha, anak keempat laki-lakinya tinggal di Surabaya bekerja di sebuah perusahaan Nasional dan anak kelimanya perempuan bekerja di sebuah perusahaan valas di Jakarta kini tinggal bersama suami dan anak-anaknya.
Ustadz itu lalu bertanya mengapa ibu tersebut tidak tinggal bersama salah satu anak-anaknya. Tanpa kata air matanya kembali tumpah, lama tak segera menjawab pertanyaan sang ustadz, lalu dia berusaha menceritakan betapa dia sudah berusaha untuk bisa tinggal bersama anak-anaknya. Namun dari semua anak-anaknya tak satupun yang dirasa sanggup untuk merawatnya. Pernah suatu ketika dia pergi ke Jakarta menemui anak pertamanya, namun tidak lama dia tinggal di sana. Karena dia menyadari bahwa dirinya berasal dari kampung yang mungkin memalukan bagi anaknya. Kejadian yang menyebabkan dia tidak tinggal di rumah anaknya yang mewah itu ketika suatu pagi dia sedang duduk di ruang tamu, anaknya menegur agar ibu tersebut tidak duduk di ruangan tamu karena nanti ada koleganya yang akan berkunjung, yang menurutnya ibu tersebut tidak pantas duduk di ruang tamu dan menyuruhnya keruangan belakang. Hal tersebut menjadikannya memutuskan untuk menemui anak ketiganya di Bandung, yang menurutnya anak perempuannya mungkin sudi mengurusnya. Tapi ternyata dia tinggal tidak lama di Bandung, karena anak perempaunnya itupun malah menyuruh sang ibu untuk tinggal bersama anak bungsunya yang ada di Jakarta. Kemudian ibu itu pergi menemui anak keduanya di Kalimantan, di sana dia tinggal agak lama hingga suatu ketika dia melakukan kekeliruan menurut anak menantunya. Hingga terjadilah kesalahpahaman yang menyebabkan dia memutuskan untuk kembali ke Lampung dengan putus pengharapan akan kesediaan anak-anaknya untuk bisa merawatnya hari tua. Padahal semasa mereka kecil, dengan susah payah dia berjuang memenuhi kebutuhan hidup dan kebutuhan pendidikan mereka bersama suaminya yang hanya seorang petani ladang. Tidak ada sedikitpun keluh kesah yang terlontar demi anak-anaknya dapat makan dan sekolah dengan baik. Tapi sekarang dia hanya hidup seorang diri tanpa seorang anakpun yang menemani sisa hidupnya.
Lalu ustadz bertanya mengapa tidak dicoba tinggal bersama anaknya yang lain yang tinggal di Surabaya atau Jakarta. Ibu itu hanya menggeleng, karena dia lelah untuk mengemis kasih sayang anak-anaknya.
Beberapa hari kemudian sang ustadz kembali menjenguk, dan mendapati ibu tersebut sudah tidak bernyawa terbaring di tempat tidur.
Ustadz itu lalu bertanya mengapa ibu tersebut tidak tinggal bersama salah satu anak-anaknya. Tanpa kata air matanya kembali tumpah, lama tak segera menjawab pertanyaan sang ustadz, lalu dia berusaha menceritakan betapa dia sudah berusaha untuk bisa tinggal bersama anak-anaknya. Namun dari semua anak-anaknya tak satupun yang dirasa sanggup untuk merawatnya. Pernah suatu ketika dia pergi ke Jakarta menemui anak pertamanya, namun tidak lama dia tinggal di sana. Karena dia menyadari bahwa dirinya berasal dari kampung yang mungkin memalukan bagi anaknya. Kejadian yang menyebabkan dia tidak tinggal di rumah anaknya yang mewah itu ketika suatu pagi dia sedang duduk di ruang tamu, anaknya menegur agar ibu tersebut tidak duduk di ruangan tamu karena nanti ada koleganya yang akan berkunjung, yang menurutnya ibu tersebut tidak pantas duduk di ruang tamu dan menyuruhnya keruangan belakang. Hal tersebut menjadikannya memutuskan untuk menemui anak ketiganya di Bandung, yang menurutnya anak perempuannya mungkin sudi mengurusnya. Tapi ternyata dia tinggal tidak lama di Bandung, karena anak perempaunnya itupun malah menyuruh sang ibu untuk tinggal bersama anak bungsunya yang ada di Jakarta. Kemudian ibu itu pergi menemui anak keduanya di Kalimantan, di sana dia tinggal agak lama hingga suatu ketika dia melakukan kekeliruan menurut anak menantunya. Hingga terjadilah kesalahpahaman yang menyebabkan dia memutuskan untuk kembali ke Lampung dengan putus pengharapan akan kesediaan anak-anaknya untuk bisa merawatnya hari tua. Padahal semasa mereka kecil, dengan susah payah dia berjuang memenuhi kebutuhan hidup dan kebutuhan pendidikan mereka bersama suaminya yang hanya seorang petani ladang. Tidak ada sedikitpun keluh kesah yang terlontar demi anak-anaknya dapat makan dan sekolah dengan baik. Tapi sekarang dia hanya hidup seorang diri tanpa seorang anakpun yang menemani sisa hidupnya.
Lalu ustadz bertanya mengapa tidak dicoba tinggal bersama anaknya yang lain yang tinggal di Surabaya atau Jakarta. Ibu itu hanya menggeleng, karena dia lelah untuk mengemis kasih sayang anak-anaknya.
Beberapa hari kemudian sang ustadz kembali menjenguk, dan mendapati ibu tersebut sudah tidak bernyawa terbaring di tempat tidur.
Labels: kisah
Post a Comment