Dari Balerante hingga Babarsari, Tujuh Kali Pindah Mengungsi
JALIN MERAPI – “Walah arep pindah meneh?” (Mau pindah lagi?) seru Haryati, pengungsi dari Desa Balerante, Kecamatan Turi, Sleman saat melihat barang-barang para pengungsi yang telah dirapikan. Seruan itu juga turut mengagetkan para pengungsi lainnya yang telah letih pindah berkali-kali.
Haryati terkejut melihat barang-barang mereka sudah dikemas. Tidak kurang dari 300 pengungsi dari desanya telah tujuh kali berpindah tempat pengungsian. Pengungsian pertama berada di gedung sekolah, tepatnya di SD Banyu Urip Wonokerto. Akan tetapi, karena ruangan kelas akan dipakai, warga akhirnya pindah ke Gedung Serbaguna P3A Pengairan Kembang. Pada Kamis (4/11/2010) malam warga berencana dievakuasi lagi ke Masjid Agung Kabupaten Sleman karena aktivitas gunung kian meningkat. “Katanya (masjid) ini bukan untuk tempat pengungsian,” kata Irwan, koordinator para pengungsi tersebut menjelaskan alasan para pengungsi harus mencari lokasi lain.
Dari Masjid Agung warga dipindah ke SD Mangunan Medari. Namun, berhubung di lokasi ini air bersih untuk MCK tidak tersedia, warga pun pindah lagi ke SMK Muhammadiyah 2 Sleman. Sayangnya, lokasi ini telah dipadati juga oleh pengungsi lain. Lagi-lagi, warga harus mencari tempat baru dan tibalah mereka di SMA 1 Medari, Sleman.
Namun, derita pengungsi ternyata tidak berhenti sampai di situ. Jumat (5/11/2010) dini hari itu Merapi meletus hebat. Hujan abu lebat disertai pasir menyelimuti hampir seluruh wilayah provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Ketika hal itu terjadi, warga juga tengah ditinggalkan Ketua RT dan RW karena masing-masing mengungsi di rumah saudara mereka ke luar kota di Temanggung, Semarang, dan Wonosobo. “Warga tidak ada yang berani mencegah,” kata Irwan teringat malam itu.
“Saya waktu itu bingung mau menghubungi siapa. Semua kontak ada di Pak RT dan Pak RW. Nah, mereka sudah pergi. Ya, mau gimana lagi,” katanya. Suara gemuruh Gunung Merapi ditambah terputusnya aliran listrik dan patahnya dahan-dahan pohon semakin memompa rasa khawatir para pengungsi. “Sedikit saja ada suara pohon tumbang, jantung mereka berdesir, wajah mereka cemas dan kaget,” kenang Irwan dan beberapa pengungsi lainnya.
Saat itu, mobil evakuasi sudah turun semua. Irwan mencoba menghubungi Ketua RT dan RW untuk meminta nomor salah satu anggota Satkorlak. Menurut Irwan, malam itu Satkorlak susah sekali dihubungi. “Wargapun sempat marah-marah saking paniknya. Wah, enggak tahu lagi harus bagaimana,” keluh Irwan. Terpaksa warga diungsikan dengan dua mobil seadanya. Satu mobil bak terbuka dan satu lagi mobil bak tertutup. “Sudah tak peduli lagi berapa kapasitas maksimal idealnya, asal masih muat ya masuk saja,” imbuhnya.
Tim evakuasi menjelaskan bahwa warga akan dibawa ke posko pengungsian Stadion Maguwoharjo. Irwan tambah bingung lagi karena tidak ada informasi yang diterima sebelumnya mengenai hal ini. Warga yang sudah panik tak sabar lagi ingin segera pergi. Saat itu, hal yang terlintas pertama di pikiran Irwan hanya satu. “Kalau ke Maguwoharjo pasti akan sangat ramai. Kasihan warga yang sudah tua, lagipula juga banyak balita. Ada lebih dari 40 warga berusia lanjut dan 20 balita,” paparnya.
Di tengah jalan, kendaraan yang menampung mereka berbelok arah dan justru menjauhi Stadion Maguwoharjo. Akhirnya koordinator pengungsi dan rekan-rekannya segera mencari lokasi lain. Kebetulan ada informasi dari Kepala Dusun Balerante yang menyatakan bahwa di daerah Babarsari, Sleman, yang berada di sisi timur kota Yogyakarta ada lokasi pengungsian. Sampailah mereka di Bumi Perkemahan Babarsari dan mengungsi di sana hingga sekarang, menghapus kekhawatiran sembari merajut harapan untuk hari depan. (Sulistiyawati, Ibnu Darmawan)
Laporan ini merupakan kerjasama antara Jalin Merapi, Program Peduli Merapi Radio Republik Indonesia, dan Program Studi Ilmu Komunikasi UII
Post a Comment